Reformasi Agraria Konteks Papua, BPN Mulai Lakukan Pemetaan Wilayah Adat dan Hak Ulayat
WAMENA – Dalam kunjungannya ke Papua selama lima hari, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional, Surya Tjandra, menyempatkan mengunjungi Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Rabu (27/01/21).
Kedatangan Wamen Surya Tjandra di bandara Wamena diterima langsung Bupati Jayawijaya Jhon Richard Banua, SE, M.Si beserta muspida Jayawijaya.
Agenda dalam kunjungan wamen agraria dan tata ruang / BPN ini bertujuan menyusun reformasi agraria konteks Papua sesuai dengan Inpres Nomor 9 Tahun 2020 tentang percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat.
“Setelah dari Jayapura dan Papua barat memang ada mirip-mirip, pertama dimulai dengan kerjasama pemetaan dan rupanya di sini sudah ada peta wilayah adat. Meski demikian peta wilayah adat milik masyarakat harus dicocokkan dengan peta kami dari BPN,” ungkapnya.kepada wartawan usai berdiskusi dengan masyarakat adat Kampung Yagara Distrik Welesi Kabupaten Jayawijaya, Rabu (27/01/21)
Setelah dicocokan baru akan dilihat kelayakan pemberian sertifikat, jika ada wilayah yang termasuk dalam kawasan hutan maka BPN akan meminta kepada kehutanan untuk dilepaskan dan diberikan kepada masyarakat sehingga diakui secara resmi.
Tidak hanya itu, untuk jangka panjang BPN ingin ada pemberdayaan masyarakat, setelah pengakuan ada perlindungan agar terjadi peningkatan pendapatan bagi warga.
“Kami akan lakukan pertemuan dengan pemda Jayawijaya termasuk ke daerah-daerah yang katakanlah rawan. Negara harus hadir, inti dari tuntutan-tuntutan inikan soal kesejahteraan. Jadi pemerintah wajib lebih semangat, kalau makin susah kita harus lebih semangat, kita hadir,” ujarnya.
Ia juga mengakui potensi pertanian Jayawijaya yang luar biasa, salah satunya kopi dan buah naga. Meski demikian ada beberapa lahan di beberapa wilayah yang perlu diolah.
“Kami BPN tidak punya anggaran untuk serahkan traktor kalau saya ada saya kasih besok. Jadi kami harus koordinasi dengan kementrian pertanian dan kemendes. Dari hasil pertemuan ini kami akan coba analisis bersama kementrian terkait,” ungkapnya.
Selain melakukan analisis peta pihaknya juga mengumpulkan analisis social dan budaya, yang menurutnya ini sangat penting agar bantuan yang diberikan efektif.
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah Pertanahan Papua, Jhon Wiklif Aufar mengatakan bahwa pemetaan wilayah adat ini baru dimulai dari kabupaten Jayapura.
“Jadi kita mulai seluruh Papua, karena dalam undang-undang otsus juga sudah mengatur tepatnya pada pasal 43, di sana perdasus 21, 22 dan 23, tapi sampai hari ini tidak ada keseriusan pemerintah untuk pemetaan hak ulayat, anggaran juga belum jelas,” terangnya.
Padahal menurutnya dalam perdasus 23 pasal 15 pembiayaan bisa dilakukan melalui APBD provinsi atau Kabupetan/kota atau bantuan lain.
“Kami sudah mulai dengan Bupati Jayapura lewat pemetaan, dimulai dengan melatih masyarakat dengan LSM-LSM, masyarakat datang dan mereka petakan dan masyarakat tetapkan sendiri untuk tarik batas,” katanya.
Setelah itu, lanjut Aufar akan dilakukan musyawarah antar masyarakat terkait penetapan batas, jika sesuai maka akan dilakukan pemetaan, dan pemetaan wilayah adat di Kabupaten Jayapura akan dipakai untuk seluruh Papua, namun akan disesuaikan dengan adat dari daerah masing-masing.
Sementara untuk wilayah pegunungan pemetaan akan dibantu oleh LSM dengan melibatkan masyarakat adat perbatasan dimana mereka harus duduk bersama untuk menetapkan batas wilayah.
“Nanti masyarakat yang tunjuk dan tetapkan sendiri, pemerintah hanya membantu saja, kalau sudah jelas semua baru akan muncul dengan perda, jadi cerita adat yang lisan-lisan ini yang ingin kita bawa ke tertulis dan prosesnya memang panjang. Di kabupaten di bentuk Gugus Tugas Pemetaan Masyarakat Adat,” pungkasnya. (Vin)