Stunting di Papua Berada di Angka 32,9 Persen
WAMENA - Dari hasil Riskesdes tahun 2013 dan 2018 menunjukkan angka stunting (anak kerdil) di Papua masih tinggi, yakni 32,9 persen.
Hal ini diungkapkan, Kepala Seksi SUPD3 Direktorat Bina Pembangunan Daerah Kementrian Dalam Negeri, Zamhir Islamie, dalam Bimtek Konvergensi Percepatan Pencegahan Stunting yang berlangsung di Ruang Rapat Bappeda Jayawijaya, Selasa (09/07/2019).
Dari 32,9 persen tersebut tersebar di 14 kabupaten di Papua, salah satunya kabupaten Jayawijaya. Untuk itu Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri mendorong 14 kabupaten ini untuk bersama-sama menurunkan angka stunting.
Menurutnya persoalan stunting tidak hanya menjadi tanggung jawab kementerian maupun dinas kesehatan tetapi perlu campur tangan kepala daerah beserta para OPD untuk menurunkan angka tersebut. "Kenapa ini tidak ditangani langsung oleh kementerian kesehatan, karena kalau dibiarkan hanya sektor kesehatan hal ini tidak akan selesai, sehingga perlu campur tangan pimpinan daerah, kepala bappeda dan OPD-OPD lainya," ungkap Zamhir. Stunting sendiri dipicu kurangnya layanan dasar yang diterima masyarakat.
Sehingga, dikatakan Zamhir sesuai dengan peraturan pemerintah nomor 2 tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal, pemerintah mencoba memperbaiki layanan dasar yang belum terpenuhi secara utuh, sehingga mempengaruhi penyebab terjadinya stunting. "Sebagai fungsi pemerintah kita mencoba meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena tiga tujuan otonomi kita, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mendekatkan pelayanan dan mengurangi disparitas wilayah antar daerah," jelasnya.
Lanjutnya, masalah stunting telah menjadi program prioritas nasional, sehingga perlu persamaan persepsi yang mana masalah stunting bukan hanya masalah kesehatan, tetapi mencari jalan keluar bagaimana memenuhi pelayanan dasar guna menekan angka yang ada.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Bupati Jayawijaya, Marthin Yogobi SH., M.Hum., saat membuka bimtek tersebut mengatakan, masalah gizi berkaitan erat dengan stunting di Papua. Dan yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat adalah anemia pada ibu hamil (37,1 persen), Berat Bayi Lahir Rendah BBLR (10,2 persen), balita kurus atau wasting (10,1 persen) dan anemia pada balita. Hanya (48,6) persen anak yang tidak menderita gangguan gizi. Ia juga menilai, pencegahan stunting menitikberatkan pada penanganan penyebab masalah gizi, yaitu faktor yang berhubungan dengan ketahanan pangan, khususnya akses terhadap pangan bergizi (makanan).
"Lingkungan sosial yang terkait dengan praktik pemberian makanan pada bayi dan anak (pengasuhan), akses terhadap pelayanan kesehatan untuk pencegahan dan pengobatan, serta kesehatan lingkungan yang meliputi tersedianya air bersih dan sanitasi (lingkungan) juga menjadi titik berat pencegahan stunting," ungkap Marthin. Sehingga lanjut Wabup, keempat faktor tersebut secara tidak langsung mempengaruhi asupan gizi dan status kesehatan ibu dan anak. Untuk itu, intervensi terhadap keempat faktor ini diharapkan dapat mencegah malnustrisi. (Vin/YP)